Menetralkan Jiwa yang sedang Silau

Menetralkan Jiwa yang sedang Silau

Harus ada upaya membenahi jiwa, agar tak gampang terpesona dengan segala yang menyilaukan. Ini memang tidak ringan. Tetapi sebuah kesuksesan memerlukan perjuangan yang tidak ringan. Beberapa langkah berikut, semoga bisa menjadi bahan renungan :

Gemerlap kehidupan
Semua yang ada di sekeliling kita adalah makhluk. Setiap makhluk memiliki keterbatasan, tidak ada yang sempurna, termasuk kita. Bisa jadi kita begitu hebat di suatu bidang ilmu. Tetapi tentu kita mengakui bahwa kita tidak mampu di bidang lain. Alam ini terlalu luas untuk bisa dijangkau oleh akal kita yang terbatas kemampuan dan kapasitasnya.
Setiap kita juga pernah terjatuh kedalam suatu kesalahan dan khilaf. Marilah bertanya dan mengaca, sesungguhnya siapakah diri kita ini?
Kesempurnaan memang hanya milik Allah. Kita tidak bisa menuntut kesempurnaan dari siapapun. Sebagaimana kita tidak dapat menuntutnya dari diri kita. Walau itu bukan legitimasi untuk tidak semakin baik, kita harus tetap berusaha untuk selalu baik dan semakin baik seiring dengan perjalanan waktu.
Gemerlap nama orang-orang besar, dari artis hingga pejabat, dari politikus hingga konglomerat, seringkali membuat kita terpukau. Seorang mukmin harus memberi catatan, bahwa kebesaran mereka memiliki ketakwaan. Kesadaran ini perlu kita tanamkan, agar seorang mukmin tidak lantas murung, patah semangat, dan bahkan tergoda untuk luluh dalam arus kehidupan mereka dengan cara yang kotor.
Dibalik gemerlap kehidupan para selebritis yang menggiurkan, misalnya, tidak sedikit yang ternyata menyimpan luka mendalam pada sisi kehidupan mereka yang sangat pribadi. Tidak semuanya, memang. Tetapi ini hanya gambaran, betapa tidak semua yang tampil gemerlap di luarnya, adalah juga gemerlap di dalamnya. Banyak kerikil dan batu ganjalan, yang membuat kehidupan mereka seperti lukisan yang retak-retak. Ada yang terkena kasus narkoba, pergaulan bebas, perselingkuhan, dan kasus lain yang secara nurani tidak dapat kita terima.

Dibalik kekuatan negara-negata adidaya yang kini menguasai dunia, seorang mukmin tidak boleh terpukau dengan cara yang tidak dibenarkan. Segala kecanggihan teknologi, tidak akan bisa mengalahkan kehendak Allah SWT. Ini, sekali lagi soal keimanan. Sarana fisik memang perlu, tetapi itu tidak akan berguna bila tidak dilandasi iman. Allah berkuasa atas segala hamba dan makhluk-Nya. Pada jari-jari-Nya bergantung nasib jiwa-jiwa manusia.
Bukan berarti kita tidak boleh mempelajari kecanggihan teknologi mereka. Atau mengadopsi keilmuan yang memang hari ini mereka kuasai. Tetapi, rasa silau yang berlebihan dan melampaui batas harus kita hilangkan dari benak kita. Agar kita tidak terjerumus kepada budaya menelan mentah-mentah setiap yang datang dari mereka. Atau bahkan kemudian kita menjadi corong-corong mereka.
Ketika kita sempat terperangah dengan setiap yang mereka miliki, cepatlah sadar bahwa kesempurnaan hanya milik Allah. Semua teori dan usaha manusia bisa macet dalam sesaat, ketika sudah berbenturan dengan kemurkaan Allah. Segala yang besar adalah kecil, bila berhadapan dengan kekuasaanNya.
Allah SWT berfirman, "Dan sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu. Dan sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya. Karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janjiNya kepada rasul-rasulNya, Sesungguhnya Allah Maha Perkasa, lagi mempunyai Pembalasan." (QS. Ibrahim:46).

(Baca juga: 17 Dosa Besar)

dunia hanya tempat untuk singgah
Mengikis kecintaan terhadap dunia yang berlebihan. Ya, itulah salah satu caranya. Agar diri ini tidak cepat silau. Keinginan untuk mengumpulkan harta sebanyak mungkin, sering menjerumuskan orang. Dia akan selalu melihat ke atas, silau dengan kekayaan seseorang. Kecintaan yang tak terbendung itu, bisa membuat menghalalkan segala cara. Tidak peduli walaupun cara itu haram. Tidak peduli walau harus menginjak orang lain. Tidak peduli walau tertawa diatas derita dan tangis orang lain.
Dunia hanya tempat kita untuk singgah. Ada saatnya perjalanan ini harus dilanjutkan. Kita harus meninggalkan dunia ini. Setelah itu, dunia hanya akan menambah beban kita di akhirat kelak. Beban, manakala dunia yang pernah kita nikmati ternyata tidak halal. Padahal yang halal sekalipun, dunia akan menjadi beban, karena ia akan memperlambat hisab seseorang. Rasulullah menjelaskan, orang kaya akan masuk syurga lebih lambat dibandingkan orang miskin selama lima ratus tahun.
Hajjaj Al-Khurasany suatu hari berada di sekumpulan orang yang sedang berdo'a di tanah suci. Diantara mereka hadir seseorang yang memang sangat mencolok kekayaannya. Bisa dilihat dari penampilannya. Hajjaj kemudian berdo'a, "Ya Allah jangan engkau fitnah kami dengan rizki dinar atau dirham". Do'a itu diamini oleh semua yang hadir kecuali oleh satu orang, yaitu orang kaya itu. Dengan do'a itu, Hajjaj bukan hanya sekedar ingin mengajarkan cara hidup sederhana. Lebih dari itu, ia ingin memberikan pelajaran bagaimana agar orang-orang itu tidak cepat silau dengan penampilan orang kaya yang ada disamping mereka.
Bukan berarti kita tidak boleh kaya. Tetapi kecintaan berlebihan terhadap kekayaan itulah yang harus dikikis. Islam selalu menjaga keseimbangan.
Keseimbangan antara mencari dunia, dan mengejar kehidupan akhirat. Dunia adalah jembatan menuju akirat. Disini kita menanam dan disana kita memetikanya.
Dengan mengikis kecintaan terhadap dunia yang membara di hati, maka kita akan merasa biasa saja ketika melihat mereka besar. Apalagi Allah telah memperingatkan kita tentang kehebatan orang-orang fasik, "Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir". (QS. At-Taubah: 55).
Ya, banyak yang tersiksa justru disaat hartanya banyak. Banyak yang merasa gelisah dan terbuang disaat anak-anaknya sukses. Banyak yang merasa kehidupannya semakin hampa ketika ia sedang naik daun. Banyak yang merasa bingung ketika usaha duniawinya justru sedang berkembang pesat.

Kisah Qarun
Di dunia ini semua diberi kesempatan untuk besar dan sukses. Muslim, fasik, munafik dan kafir sekalipun. Kitta tahu bahwa kebesaran itu ada batas waktunya. ada saatnya mereka harus hancur dan terkubur untuk selamanya. bahkan terkadang harus meninggalkan nama buruk dalam sejarahnya.
Qorun misalnya, adalah gambaran manusa terkaya saat itu. Kekayaannya tak terhitung. Kunci-kunci gudang hartanya berat untuk dipikul oleh pengawal-pengawalnya yang kuat. Sebagian masyarakatnya sangat silau dengan kekayaannya. Mereka hanya bisa berdecak kagum dengan kesuksesan duniawi Qorun. Apalagi Qorun berusaha untuk selalu menjaga penampilannya. Ditambah lagi dengan pengakuannya, bahwa segala keberhasilannya itu diraihnya dengan teori dan ilmu bisnis serta kehebatan manajerial yang dimilikinya.
Dengarlah apa yang dikatakan mereka yang silau, "Semoga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qorun, sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar". (QS. Al-Qashash : 79).
Ternyata Allah ingin menegut mereka yang silau. Bahwa tidak setiap yang sukses, akan selalu sukses dan berakhir dengan kesuksesan. Terlebih kesuksesan yang kemudian berubah kecongkakan, seperti pengakuan Qorun bahwa semua kesuksesan itu semata karena kehebatan dirinya. "Maka Kami benamkanlah Qorun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya)". (QS. Al-Qashash : 81).
Dengan merenungi kisah diatas kita sadar bahwa kesilauan terhadap orang atau institusi atau negara besar harus dinetralkan. Kita butuh ketenangan sikap seperti sikap sebagian masyarakat Qorun yang berkata, "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang sabar". (QS. Al-Qashash: 80).

(Baca juga: Terpukau Ilmu dan Kedermawanan)


Menyelamatkan jiwa
Kekuatan diri setiap kita berbeda. Masing-masing mengetahui seberapa kuat kemampuan dirinya. Ketika kita merasa bahwa diri kita lemah di tengah badai gelombang, maka seharusnya kita tidak menantang badai itu.
Kalau jiwa kita masih sering silau dan latah terhadap sesuatu, maka berhati-hatilah. Cobalah mencari sisi lain dari sesuatu yang menyilaukan itu. Bersabarlah, lalu perhatikan dengan betul, apakah yang menyilaukan itu benar-benar murni ada cahaya kebenaran di baliknya. Atau justru ada banyak kenistaan di balikanya. Dengan menggali lebih dalam, dengan kesabaran yang tulus, Insya Allah, Allah akan membuka jalan petunujuk-Nya, lalu menyadarkan kepada kita, apakah yang memukau itu baik atau buruk.
Melihat sisi lain dari hal-hal yang memukau, terutama sisi-sisi buruknya, akan menguatkan jiwa. Untuk tidak terlalu gagap dan mudah terperdaya.
Imam Abul Walid Al-Baji pernah menasehati anaknya agar tidak latah mempelajari ilmu filsafat. Alasannya bukan karena tidak ada manfaat sekali dalam ilmu filsafat. Tetapi, ia menjelaskan alasannya, "Anakku, kalian masih terlalu kecil. Tunggulah saatnya kalian sudah dewasa dan sudah mapan secara keilmuan. Saat itu bacalah buku-buku filsafat dan buktikan sendiri kelemahan ilmu itu".
Bila dengan cara itu masih juga tidak bisa, apa boleh buat. Cara lainnya adalah kita harus meminimalisir berinteraksi dengan hal yang bisa menyilaukan. Lebih karena kita harus meyelamatkan jiwa kita sendiri. Ibaratnya, yang tidak tahan panas jangan bermain-main dengan api. Yang tidak kuat dingin jangan bermain-main dengan hujan.
Kita harus menguatkan jiwa, agar bisa memandang biasa sebuah kehebatan dan kebesaran, bila tidak berdasar iman. Karena dari sana bersumber mata air kebahagiaan yang sesungguhnya. Dengarlah ucapan seorang salafusshalih, Hrits bin Miskin, "Segala puji bagi Allah yang telah membuat kami istirahat dari interaksi dengan para pejabat. Hingga kami bisa menjulurkan kaki semau kami. Kami bisa menangis tanpa ada yang menghalangi, Dan kami bisa berbuat semau kami tanpa intervensi".

(Baca juga: Syafa' at dari Penghuni Syurga)

Memohon kekuatan kepada Allah
Langkah lain yang tak boleh dilupakan, adalah berdo'a. Ya, setiap mukmin harus memohon kekuatan kepada Allah, sumber segala kekuatan. Termasuk untuk menghadapi dunia yang melenakan, beserta segala isinya itu, kita harus memohon kekuatan kepada Allah.
Karenanya, salah satu do'a pentung yang diajarkan Rasulullah, adalah memohon agar tidak diuji dengan fitnah dalam urusan agama. Selain itu, juga memohon agar Allah tidak menjadikan dunia sebagai tujuan dan puncak kemauan kita.
Maka, dalam segala aktivitas duniawi yang kita lakukkan, kita tidak boleh lupa untuk berdo'a. Memohon kepada Allah agar ia berada di jalan yang diridhaiNya. Belajar, bekerja, berusaha, berdagang, mengasuh dan mendidik anak, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya, harus senantiasa di"Bismillah"kan. Selain agar pekerjaan itu diterima Allah, juga agar dalam proses teknisnya, kita tetap terjaga dari kemungkinan terjerumus ke jalan yang salah.
Keseluruhan upaya di atas mungkin hanya sebagian kecil. Dari segala cara yang bisa dilakukan seorang mukmin untuk tidak silau dengan segala gemerlap dunia. Masih banyak cara lain yang juga bisa dilakukan. Yang pasti, sebuah perjuangan menaklukkan dunia, sama pentingnya dengan perjuangan menaklukkan hati, agar tak terperdaya oleh dunia itu.



No comments:

Post a Comment

Contact Us

Name

Email *

Message *

Back To Top